SOSOK PEMBELAJAR YANG SENANG BERMIMPI

25 Desember 2008

Guru baruku yang sederhana

Entah mengapa akhir-akhir ini saya sangat gandrung sekali dengan tulisan-tulisan Gede Prama. Dia adalah seorang Presiden Direktur dari Dynamics Consulting yang sebelumnya pernah menjadi CEO perusahaan jamu terkemuka di Indonesia, yang sekarang ini “mengasingkan” diri di tempat yang dia sebut sebagai Pulau Kedamaian yaitu di Bali. Sebenarnya saya sudah familiar dengan dia semenjak masih kuliah dulu, setiap saya pergi ke toko buku, tidak jarang saya menemui karya-karyanya, cuma tidak tahu kenapa, baru sekarang saya tertarik untuk membaca tulisan-tulisannya.

Adalah proses pencarian saya dalam menemukan sebuah titik kebahagiaan dalam hidup yang akhirnya mengantarkanku bertemu dengan filosofi-filosofi dia tentang kebahagiaan. Saat diri ini terpacu untuk mengejar sesuatu yang bersifat duniawi, sampai akhirnya terjebak dalam rimba kesesatan materialisme, dan ketika diri ini merasa ada sesuatu yang hampa, ternyata tulisan Beliau mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan menggantung, yang selama ini belum terjawab dalam literatur ilmiah yang sudah ada.

Kesederhanaan adalah kata yang sering didengung-dengungkan pak Gede dalam setiap ucapannya, sesuatu sikap yang sebenarnya sangat mudah untuk dilakukan, tapi pada praktek nya begitu sulit untuk dijalani. Konsep hidup sederhana ini bukan berarti kita harus pelit, terlalu irit, kikir, medit,buntut kasiran atau apapun istilahnya. Kesederhanaan dalam hidup adalah kesediaan untuk menjalani hidup apa adanya. Tidak ada yang ditutup-tutupi, tidak ada yang dilebih-lebihkan dan tidak ada yang perlu digengsi-gengsikan.

Konsep kesederhanaan ini akan matching dengan konsep teori ekonomi yang mengatakan bahwa adanya kelangkaan (scarcity) yang diakibatkan oleh besarnya keinginan (want) yang tidak terbatas dibandingkan dengan sumberdaya (source) yang terbatas. Inilah yang menyebabkan timbulnya harga ekonomis yang melekat dalam setiap sumberdaya yang dibutuhkan. Kesederhanaan akan menjadi jembatan yang memadai untuk menghubungkan antara rezeki yang kita terima dengan keinginan yang ingin terpenuhi.

Perjalanan dan pengalaman yang mengharuskan kita meniti tangga kehidupan dari bawah, harusnya membuat kita akan sering ingat akan pentingnya kesederhanaan hidup. Bagi yang memulai kehidupan dari bawah, akan ada makna yang dalam dan rasa syukur yang tak terhingga, ketika dulu masih bergelantungan di bus kota, ternyata sekarang sudah punya motor atau bahkan punya mobil, yang mungkin bagi sebagian anak orang kaya, hal itu hanya sebatas rutinitas yang hambar tanpa ada rasa.

Akhirnya saya berharap jangan sampai apa yang ditulis Deana Rick dan rekan di Personal Excellence terjadi pada kita, “having too much can actually be a hindrance to an attitude of gratitude because, in reality, you can not appreciate what you have, if you have too much“. Yang pada intinya, memiliki kekayaan yang terlalu banyak sering mengurangi rasa syukur. Sebab, penghargaan terhadap rezeki sering menurun sejalan dengan semakin banyaknya uang yang dimiliki. Semoga kita terhindar dari hal-hal yang bisa mengurangi rasa syukur kita terhadap apa yang sudah dimiliki, sehingga akan selalu ada godaan dalam diri ini untuk menolong sesama, bila ada kemampuan untuk melakukannya…..

Selengkapnya...

05 Desember 2008

Menjadi Kaya dengan Bersyukur

Dalam hidup kita sering berfokus pada apa yang kita inginkan, bukan pada apa yang kita miliki. Contoh yang sederhana semisal kita sudah mempunyai sebuah rumah, kendaraan, pekerjaan tetap, dan pasangan yang baik, tapi pikiran kita masih saja merasa kurang. Pikiran kita sering dipenuhi dengan beban dan berbagai target yang ingin dicapai. Kalaupun apa yang kita inginkan dan cita-citakan tercapai, anehnya kita “tidak merasa puas”, kalau pun ada rasa puas paling hanya sesaat.

Belum lagi kecederungan kita untuk membanding-bandingkan diri kita dengan orang lain. Kita sering membandingkan kelemahan kita dengan kelebihan orang lain. Sehingga semakin merasa inferior-lah diri kita. Bila melihat teman, tetangga atau orang lain yang punya kehidupan lebih baik, kita sering merasa iri hati melihatnya. Apalagi bila melihat teman kita yang penghasilannya lebih tinggi, padahal dulunya sama dengan kita, atau bahkan dibawah kita, akan menambah rasa sesak saja di dada ini. Sehingga tidak jarang kita sering gonta-ganti pekerjaan hanya untuk kelihatan hebat dimata orang lain. Tanpa peduli apakah yang kita kerjakan baik untuk kehidupan kita atau tidak.

Untuk lebih memaknai arti bersyukur ini, ada cerita yang saya ambil dari tulisannya Pak Gede Prama yang sangat menarik untuk kita simak. "Suatu hari, Nasrudin lari terbirit-birit menemui gurunya. Begitu berjumpa, tanpa permisi ia langsung minta tolong: ‘Tolong guru rumah saya jadi neraka. Ada istri cerewet, mertua yang banyak maunya, putera-puteri beserta sepupu-sepupu mereka yang ribut lari ke sana ke mari. Apa pun yang guru sarankan akan saya lakukan, asal nerakanya hilang surganya datang’.

Yakin Nasrudin akan memenuhi janji, gurunya pun bertanya: ‘Apakah kamu punya binatang peliharaan?’. Dengan gesit Nasrudin menyebut ada empat angsa, enam ayam, tujuh kambing, delapan kelinci, serta sejumlah burung. Karena itu, sang guru menyuruh Nasrudin memasukkan semua binatang peliharaan ke dalam rumah, semua manusia juga harus ada di dalam, kemudian tutup pintu dan jendela rapat-rapat. Selama sebelas hari tidak boleh ada satu pun manusia atau binatang yang keluar dari rumah.
‘Tapi, tapi….’, sahut Nasrudin dengan nada gugup. Dengan sigap gurunya menjawab: ‘Jangan lupa kamu sudah janji!’. Dan terpaksalah Nasrudin kembali ke rumah melaksanakan perintah gurunya.

Sebelas hari kemudian, Nasrudin datang dengan langkah yang jauh lebih kacau dari sebelumnya. ‘Toloong guru, tolong, jangankan manusia, bahkan kambing pun sudah mau gila sebelas hari di dalam rumah’. Dengan tersenyum bijaksana gurunya berucap: ‘Sekarang keluarkan semua binatang, bergotong royong penuh gembiralah, bersihkan rumah’. Dan beberapa waktu kemudian, Nasrudin mendatangi rumah gurunya dengan wajah ceria: ‘Terimakasih guru, rumahnya sudah jadi surga!’.

Inilah cerita manusia dari dulu hingga sekarang. Banyak rumah kehidupan yang berubah jadi neraka karena saling benci dan saling memarahi. Dan ternyata menemukan surga hanya persoalan memilih pembanding yang tepat. Bila pembandingnya tepat (dalam kisah Nasrudin pembandingnya rumahnya yang penuh binatang), surga terbuka. Jika pembandingnya selalu yang serba lebih (lebih kaya, lebih cantik, lebih terkenal, lebih bijaksana) maka surga pun tidak pernah terbuka".

Akhirnya, hidup ternyata persoalan sikap. Surga maupun neraka ternyata hasil ikutan dari sikap. Bila sikapnya keluhan dan kekurangan maka neraka yang terlihat. Jika sikapnya bersabar dan bersyukur maka surga yang tampak. Hidup akan lebih bahagia kalau kita dapat menikmati apa yang kita miliki. Karena rasa syukur merupakan kualitas hati yang tertinggi dan merasa cukup merupakan harta terbesar kita. Salam Sukses!!!
Selengkapnya...

e-book motivasi gratiss