SOSOK PEMBELAJAR YANG SENANG BERMIMPI

10 Desember 2011

THE MAGIC OF FORGIVENESS

Memutuskan untuk tidak memaafkan berarti mengambil keputusan untuk menderitaGerald G Jampolsky

Dalam kehidupan tak mudah rasanya kita untuk melakukan tindakan memberi. Bila hal itu (memberi) dilakukan pun, pasti kita lihat-lihat dulu orangnya. Orang terdekat, saudara, teman lama atau siapa saja yang punya hubungan dekat dengan kita itu yang biasanya dapat prioritas pertama untuk kita beri. Itu saat kita berbicara mengenai pemberian berupa barang, uang atau mungkin kasih sayang. Nah bagaimana kalau yang akan kita beri adalah pemberian maaf, apalagi itu menyangkut seseorang yang telah melukai perasaan kita.


Tentu tidak mudah dan selalu tidak gampang untuk bisa memaafkan seseorang yang telah menyakiti kita baik itu berupa ucapan atau tindakan. Yang tersisa pasti hanya rasa dendam untuk membalas atas apa yang semua yang sudah dilakukan, sehingga barulah kalau itu sudah tercapai, maka hati ini akan menjadi puas. Tapi pertanyaannya apakah lantas hati ini akan bisa damai apabila sudah balas dendam, lalu bila dendam itu tidak terlaksana, betapa gundahnya hati ini dibuatnya.

Adalah perasaan itu pula yang saya rasakan ketika merasa dikhianati oleh seseorang yang sangat saya cintai. Perjalanan waktu sesudahnya, nyatanya tak bisa serta merta mengobati rasa luka di dada. Waktu yang kata orang menjadi obat dari segala pelipur lara, buktinya tetap tak berdaya bila ingat memori lama. Ada perasaan dendam yang mengemuka dan perasaan tak rela bila ternyata dia bahagia bersamanya.

Perasaan dendam dan sakit hati itu tetap saja tumbuh subur sampai akhirnya saya dapat pencerahan lewat buku yang tak sengaja saya baca. Dari situ saya bisa mengetahui kenapa perasaan terluka dan sakit hati itu tak kunjung sembuh jua. Jawabannya itu karena kita belum bisa memaafkan kejadian menyakitkan itu dengan sempurna.

Alur logika bisa dijelaskan dengan memulainya dari kata lupa. Hukum alamnya, lupa itu sesuatu yang tidak kita sengaja (terjadi secara alami). Itu adalah fitrah manusia, atau dengan kata lain lupa itu hal yang manusiawi. Sedangkan melupakan berarti tindakan yang disengaja, atau men-sengaja-kan untuk lupa. Melupakan sama seperti melawan hukum alam. Itulah kenapa ketika kita ingin melupakan sesuatu atau seseorang, justru bayangan itu akan semakin kuat tertanam di benak kita. Usaha seperti membakar surat cinta, foto atau benda-benda pemberiannya, dengan harapan bisa melupakannya, hasilnya tetap saja tidak bisa.

Rasa sakit hati dan dendam terhadap seseorang atau kejadian buruk itu akan “sembuh” bila kita sudah memaafkan. Menerima kenyataan pahit tersebut dan kembali pada kehidupan yang normal, maka akan berangsur-angsur lupa pada kejadian itu. Inilah lupa yang terjadi secara alami. Memaafkan bukan berarti melupakan, dengan kita memaafkan kita akan berusaha menghilangkan “beban” yang kita alami karena kejadian pahit itu. Kejadian itu sendiri tidak perlu kita lupakan. Justru kita harus belajar banyak dari kejadian tersebut. Sehingga suatu saat nanti kita bisa menceritakan hal yang menyakitkan itu dengan tanpa emosi dan santai atau bahkan dengan dengan menertawakan diri kita sendiri. Karena kita sudah tidak terpengaruh secara emosional dan sudah melepaskan ikatan emosi pada peristiwa tersebut.

Selengkapnya...

e-book motivasi gratiss