"Kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja."
Buya Hamka
Buya Hamka
Bila dalam hidupmu, kamu masih bisa bekerja. Maka berbahagialah. Karena di luar sana tidak banyak orang yang masih seberuntung kamu. Coba kita tengok realita yang ada sekarang, dimana saat ada job fair, disitu pasti banyak sekali pelamar yang berdesak-desakan mencari pekerjaan. Rasio perbandingannya mungkin sudah tidak wajar lagi antara orang atau perusahaan yang menyediakan lapangan pekerjaan dengan si pencari kerja. Sehingga tidak heran mengenai pengangguran atau pencari kerja ini menjadi isu yang cukup meresahkan. Tidak hanya untuk pemerintah sebagai pengelola kehidupan bernegara. Tapi juga untuk masyarakat yang ingin merubah kehidupannya
Nyatanya sangat ironis memang, saat di luar sana banyak orang berbondong-bondong, mencari pekerjaan. Di tempat lain, dimana orang sudah memiliki pekerjaan. Banyak dalam pekerjaannya hanya sebatas rutinitas yang menjemukan. Bekerja menjadi sebuah beban atau siksaan yang menakutkan. Ingin segera bertemu dengan hari jumat. Sampai ada istilah TGIF (Thank God it’s Friday). Dan menghawatirkan saat besok sudah hari senin. Ada juga istilahnya untuk hari senin dengan sebutan I Hate Monday.
Sejatinya, bekerja tidak hanya sebatas alat untuk mencukupi kebutuhan. Lebih dari itu bekerja adalah ibadah bila dilakukan dengan keikhlasan dan sukacita. Bekerja juga bagian dari pengabdian dan pelayanan. Kata seorang kawan, bekerja itu tidak harus selalu di ruang yang dingin, fasilitas yang super mewah dan penghasilan yang melimpah. Bekerja apapun profesinya apabila sesuai panggilan hati adalah cara kita untuk menikmati dan merayakan kehidupan. Maka jadilah pelukis, seniman, petani, nelayan, pengamen, dokter, atau auditor. Ikuti dorongan dan hasrat hati anda untuk menjadi apapun yang diinginkan. Tidak harus jadi PNS semua atau bekerja di BUMN ternama.
Teringat dulu alm. ayah saya yang sangat bangga dengan pekerjaannya. Bekerja sebagai guru SD yang bayarannya delapan koma, artinya tanggal delapan sudah koma. Tidak berlebihan rasanya karena saat itu memang gaji guru SD tidak sebesar seperti sekarang. Sekarang kabarnya sudah ada remunerasi dan beberapa tunjangan lainnya yang membuat profesi ini lebih sejahtera. Namun dulu, dengan kondisi yang serba keterbatasan pun, ayah tetap semangat untuk menekuni profesinya. Tiap hari dia harus berjalan belasan kilometer untuk mencapai tempat mengajarnya. Beberapa kali dia tertahan untuk pulang karena harus melewati sungai yang saat itu sedang banjir. Baginya bekerja dengan kondisi tersebut tidak masalah. Bekerja seperti panggilan jiwa untuk pengabdian dan memberi pelayanan ke sesama. Tidak ada imbalan yang setimpal yang dia harapkan. Setidaknya saya sebagai anaknya tidak pernah mendengar keluhan itu dari mulutnya. Cukup dengan mengantarkan anak didiknya berprestasi, sudah cukup membuat dia berbangga hati.
Belajar dari Ayah, bagi saya seorang laki-laki, bekerja itu adalah kehormatan. Kerja menjadi alat bukti dan wujud kecintaan pada keluarganya. Laki-laki yang bertanggungjawab, dia akan rela bekerja banting tulang untuk bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Menjadi tulang punggung dan harapan buat keluarga itu sudah menjadi fitrah seorang laki-laki. Makanya saya berpesan kepada para wanita, jangan terlena pada pria yang hanya bisa berkata-kata. Bagaimana bisa percaya pada pria yang mengatakan akan menerjang lautan, mengarungi samudera dan mendaki gunung yang tinggi, tapi untuk sekedar bangun pagi dan berangkat kerja saja masih malas.
Bekerja adalah alat untuk merubah nasib kehidupan. Rezeki baik tidak mungkin dikirimkan pada orang yang hanya berpangku tangan. Bekerja menjadi jembatan yang menghubungkan rezeki dari langit bisa turun ke bumi. Dan sebaik-baiknya pekerjaan adalah yang dilakukan oleh dorongan hati. Meminjam kalimat Kahlil Gibran " Dan segenap pekerjaan adalah sia-sia, kecuali jika ada kecintaan." Masih menurut Kahlil Gibran kerja adalah cinta yang mengejawantah. Dan jika kau tiada sanggup bekerja dengan cinta, hanya dengan enggan, maka lebih baiklah jika engkau meninggalkannya. Lalu mengambil tempat di depan gapura kuil, meminta sedekah dari mereka yang bekerja dengan sukacita.
Hanya saja, saat kita bekerja keras dalam pekerjaan. Dengan dalih untuk mencukupi kebutuhan anak istri. Jangan sampai, karena pekerjaan kita, keluarga yang jadi korban. Saking sibuknya kita bekerja, kita mengabaikan kesehatan kita. Kita juga menjadi lalai untuk memberi perhatian pada hal-hal kecil. Kita terjebak dalam kondisi dimana kita sibuk memeras keringat dalam bekerja, tapi kita lupa menyisihkan waktu untuk keluarga. Kesuksesan yang kita raih pun akan menjadi sia-sia. Bila kita bekerja di perusahaan, sepenting apapun posisi kita, saat kita berhalangan hadir, pasti ada yang bisa menggantikan. Atau semisal kita berhenti pun, pasti dengan mudah perusahaan akan mendapatkan pengganti kita. Tapi buat keluarga kita, posisi dan peranan penting kita dalam keluarga tidak akan pernah tergantikan. Karena mungkin bagi dunia anda hanya dianggap seseorang, tapi buat keluarga anda lah dunia mereka.