Setiap “note” yang saya tulis pasti tak akan jauh-jauh dengan apa yang sedang dirasakan, diamati dan diharapkan. Tulisan buat saya seolah catatan sejarah tentang apa saja yang sudah terjadi menimpa hidup. Tulisan juga merupakan penyemangat tentang apa saja yang akan saya hendak capai dalam hidup. Tulisan juga sebagai pengingat dan alarm, saat saya merasa ada sesuatu salah dalam hidup, saat jalan yang dilalui sudah keluar dari relnya. Saya berharap saat saya tak ingat (khilaf), orang lain yang sudah membaca tulisanku nanti yang mengingatkannya. Jadi tidak ada satu pun niat untuk menggurui, merasa lebih tahu atau sudah bisa melakukannya, ketika saya menulis tema tertentu.
Seperti saat ini saya sedang rasakan suatu hal. Saya sedang merakan sindrom sukses-isme. Bangga dengan apa yang sudah diraih, sehingga mengecilkan proses dan menganggap orang lain lebih kecil atau kalah dari kita. Terlena dengan apa yang sudah didapat dan agak enggan untuk belajar karena merasa sedang berada dalam kesibukan, kesudahbisaan dan kesudahtahuaan (he ngawur bahasanya). Dalam bahasa yang indah penulis buku Brian Tracy menyebutnya sebagai jebakan intelektual, perasaan merasa sudah cukup dengan apa yang sudah diraih dan enggan belajar lagi. Parahnya apa yang saya rasakan (jebakan intelkektual/jebakan kesuksesan) tersebut kadang menjadi dasar untuk merendahkan dan meremehkan pencapaian orang lain.
Perasaan adigung adiguna rasanya tidak bisa dilepaskan dari dari kata rendah hati. Karena kalau perasaan rendah hati itu ada, tidak mungkin kita terperosok ke dalam perasaan sombong itu. Ada falsafah jawa yang adi luhung mengatakan "Sugih tanpa bandha, Digdaya tanpa aji, Nglurug tanpa bala, Menang tanpa ngasorake". Demikian warisan leluhur yang diturunkan oleh RM Pandji Sosrokartono kepada anak cucunya. RM Pandji Sosrokartono ( Lahir tanggal 10 April 1877 ) adalah putra Bupati Jepara yaitu RM Adipati Ario Sosroningrat, dan adalah kakak dari Pahlawan Wanita Indonesia RA Kartini.
Menang tanpa ngasorake
Satu point saja yang ingin saya comot dari falsafah hidup yang luar biasa itu yaitu menang tanpa ngasorake. Saya mengenal istilah ini dan bisa melihat bagaimana cara atau contoh melakukannya ketika sedang senang-senangnya melihat debat pemilu. Dalam banyak kesempatan, saya jujur jatuh cinta dengan sosok yang memikat hati ketika dia sedang berdebat. Sebut saja dia Anas Urbaningrum, cara dia menyampaikan argumen, mempertahankan pendapat dan menyerang lawan debat, jauh dari kata menyakitkan, dilakukan dengan santun. Dan kalau pun lawan debatnya sudah mulai terpojok, dia selalu membuka ruang untuk lawannya bisa bersembunyi dan tidak merasa malu. Bukan personal orangnya yang ingin saya bahas melainkan ajaran apa yang sudah dia terapkan dalam melakukan debat, indah sekali rasanya bisa melihatnya.
Ternyata falsafah jawa tersebut lahir jauh sebelum manajemen modern ada. Hanya saja saya sendiri termasuk orang yang mengenal hal tersebut justru dari ajaran orang barat (mungkin karena saya sudah mengenal makanan Kentucky (KFC) sehingga melupakan makanan tempe bacem he3), adalah Dale Carnigie dalam sebuah karyanya “How to get friends and influence people”. Dia mengatakan “berikan kesempatan buat orang lain untuk menyembunyikan mukanya”. Namun saya yakin banyak diantara kita (termasuk saya), terkadang ketika emosi dan marah kepada seseorang, ingin rasanya menumpahkan semua sumpah serapah, ingin rasanya semua kejelekan dan aib orang tersebut kita buka. Biarlah dia tidak berkutik dan tidak ada kesempatan untuk menyembunyikan rasa malunya.
Padahal sejatinya, kita juga belum tentu lebih baik dari seseorang yang kita remehkan. Belum tentu sikap dan prilaku kita juga lebih baik dari apa yang kita tuduhkan ke mereka. Kalaupun ada perasaan kita bahwa kita merasa lebih di depan atau lebih dulu dari orang lain. Bukankan itu hanya masalah jarak dan waktu? Dengan percepatan, semangat dan motivasi yang kuat, rasanya kalau kita tidak mawas diri, akan sangat mudah buat orang lain untuk menyalip kita.
Keberhasilan dalam upaya pertama atau keberhasilan yang sudah digenggam, kadang membuat kita lengah dan terlena, sehingga akan mengerdilkan proses, dan menganggap semuanya sudah didapat dengan mudah. Kita sering tidak sadar bahwa, dunia akan cepat berputar, era akan cepat berganti. Kemampuan dan pengetahuan yang sudah kita dapat tidak akan relevan lagi dengan kondisi nanti. Jadi siapa saja yang tidak siap untuk perubahan dan persaingan, merasa puas dengan apa yang sudah dicapai, maka siap-siaplah dia akan digusur oleh orang lain yang lebih siap dan sedang berlari untuk mengejar ketertinggalannya.
Terakhir, tulisan ini hanya sebagai instrospeksi buat diri sendiri agar tidak mudah lalai dan terlena. Apa yang sudah dicapai tidaklah berarti apa-apa bila kita merasa angkuh dan tidak menjadi manfaat buat orang lain. Bersyukur bila tulisan ini bisa mengingatkan banyak orang juga yang sedang dimabukan dengan keberhasilan karena mungkin, sudah mendapatkan pekerjaan impian, pasangan idaman, materi dan harta yang didambakan. Selayaknya itu semua tidak membuat kita buta dan besar kepala. Karena itu sifatnya hanya sementara. Tak ada yang istimewa saat kita sudah dipanggil Sang Empunya. Wallahualam bisawab.....
Seperti saat ini saya sedang rasakan suatu hal. Saya sedang merakan sindrom sukses-isme. Bangga dengan apa yang sudah diraih, sehingga mengecilkan proses dan menganggap orang lain lebih kecil atau kalah dari kita. Terlena dengan apa yang sudah didapat dan agak enggan untuk belajar karena merasa sedang berada dalam kesibukan, kesudahbisaan dan kesudahtahuaan (he ngawur bahasanya). Dalam bahasa yang indah penulis buku Brian Tracy menyebutnya sebagai jebakan intelektual, perasaan merasa sudah cukup dengan apa yang sudah diraih dan enggan belajar lagi. Parahnya apa yang saya rasakan (jebakan intelkektual/jebakan kesuksesan) tersebut kadang menjadi dasar untuk merendahkan dan meremehkan pencapaian orang lain.
Perasaan adigung adiguna rasanya tidak bisa dilepaskan dari dari kata rendah hati. Karena kalau perasaan rendah hati itu ada, tidak mungkin kita terperosok ke dalam perasaan sombong itu. Ada falsafah jawa yang adi luhung mengatakan "Sugih tanpa bandha, Digdaya tanpa aji, Nglurug tanpa bala, Menang tanpa ngasorake". Demikian warisan leluhur yang diturunkan oleh RM Pandji Sosrokartono kepada anak cucunya. RM Pandji Sosrokartono ( Lahir tanggal 10 April 1877 ) adalah putra Bupati Jepara yaitu RM Adipati Ario Sosroningrat, dan adalah kakak dari Pahlawan Wanita Indonesia RA Kartini.
Menang tanpa ngasorake
Satu point saja yang ingin saya comot dari falsafah hidup yang luar biasa itu yaitu menang tanpa ngasorake. Saya mengenal istilah ini dan bisa melihat bagaimana cara atau contoh melakukannya ketika sedang senang-senangnya melihat debat pemilu. Dalam banyak kesempatan, saya jujur jatuh cinta dengan sosok yang memikat hati ketika dia sedang berdebat. Sebut saja dia Anas Urbaningrum, cara dia menyampaikan argumen, mempertahankan pendapat dan menyerang lawan debat, jauh dari kata menyakitkan, dilakukan dengan santun. Dan kalau pun lawan debatnya sudah mulai terpojok, dia selalu membuka ruang untuk lawannya bisa bersembunyi dan tidak merasa malu. Bukan personal orangnya yang ingin saya bahas melainkan ajaran apa yang sudah dia terapkan dalam melakukan debat, indah sekali rasanya bisa melihatnya.
Ternyata falsafah jawa tersebut lahir jauh sebelum manajemen modern ada. Hanya saja saya sendiri termasuk orang yang mengenal hal tersebut justru dari ajaran orang barat (mungkin karena saya sudah mengenal makanan Kentucky (KFC) sehingga melupakan makanan tempe bacem he3), adalah Dale Carnigie dalam sebuah karyanya “How to get friends and influence people”. Dia mengatakan “berikan kesempatan buat orang lain untuk menyembunyikan mukanya”. Namun saya yakin banyak diantara kita (termasuk saya), terkadang ketika emosi dan marah kepada seseorang, ingin rasanya menumpahkan semua sumpah serapah, ingin rasanya semua kejelekan dan aib orang tersebut kita buka. Biarlah dia tidak berkutik dan tidak ada kesempatan untuk menyembunyikan rasa malunya.
Padahal sejatinya, kita juga belum tentu lebih baik dari seseorang yang kita remehkan. Belum tentu sikap dan prilaku kita juga lebih baik dari apa yang kita tuduhkan ke mereka. Kalaupun ada perasaan kita bahwa kita merasa lebih di depan atau lebih dulu dari orang lain. Bukankan itu hanya masalah jarak dan waktu? Dengan percepatan, semangat dan motivasi yang kuat, rasanya kalau kita tidak mawas diri, akan sangat mudah buat orang lain untuk menyalip kita.
Keberhasilan dalam upaya pertama atau keberhasilan yang sudah digenggam, kadang membuat kita lengah dan terlena, sehingga akan mengerdilkan proses, dan menganggap semuanya sudah didapat dengan mudah. Kita sering tidak sadar bahwa, dunia akan cepat berputar, era akan cepat berganti. Kemampuan dan pengetahuan yang sudah kita dapat tidak akan relevan lagi dengan kondisi nanti. Jadi siapa saja yang tidak siap untuk perubahan dan persaingan, merasa puas dengan apa yang sudah dicapai, maka siap-siaplah dia akan digusur oleh orang lain yang lebih siap dan sedang berlari untuk mengejar ketertinggalannya.
Terakhir, tulisan ini hanya sebagai instrospeksi buat diri sendiri agar tidak mudah lalai dan terlena. Apa yang sudah dicapai tidaklah berarti apa-apa bila kita merasa angkuh dan tidak menjadi manfaat buat orang lain. Bersyukur bila tulisan ini bisa mengingatkan banyak orang juga yang sedang dimabukan dengan keberhasilan karena mungkin, sudah mendapatkan pekerjaan impian, pasangan idaman, materi dan harta yang didambakan. Selayaknya itu semua tidak membuat kita buta dan besar kepala. Karena itu sifatnya hanya sementara. Tak ada yang istimewa saat kita sudah dipanggil Sang Empunya. Wallahualam bisawab.....
Borgata Hotel Casino & Spa: What to Know BEFORE You Go
BalasHapusBorgata Hotel Casino & Spa has 삼척 출장마사지 a variety 논산 출장안마 of 부산광역 출장마사지 casino games, including blackjack, roulette, blackjack, 부천 출장샵 video poker, and 김포 출장샵 live casino