“Dalam hidup ada kehidupan. Kita harus mampu menghidupkan kehidupan ini agar kita bisa benar-benar hidupdalam menjalani hidup kita. Setelah kita benar-benar hidup, kita dapat menghidupkan kehidupan orang lain sehingga hidup kita tidak sekedar hidup-hidupan.”Adi W. Gunawan
Tulisan ini saya mulai dengan untaian kata filosofis yang didapat dari salah satu buku best seller milik Adi W. Gunawan. Dia salah satu guru imajiner dari sekian banyak orang-orang hebat yang saya kagumi, dia sendiri senang menyebut dirinya sebagai Re-Educator dan Mind Navigator. Ucapan dalam buku dia tersebut jelas cukup menggelitik saya untuk bisa merenungkan kembali dan bertanya pada diri tentang apa itu hidup? Mengapa saya hidup? Untuk apa saya hidup?
Mencoba menjawab pertanyaan tersebut di atas dengan menggunakan pendekatan akademis yang tersisa dari proses pendidikan di kampus dulu semasa kuliah, hasilnya ternyata masih belum bisa menjawab pertanyaan sesulit itu. Maklum selama dikampus dosen saya banyak mengajarkan tentang pengetahuan dan keterampilan teknis yang masih bersifat semu dan maya. Konsekuensi logisnya tidak mengherankan jika saya masih bingung dalam menghadapi dunia yang riil dan tidak jarang saya merasa terasing dengan diri sendiri.
Sistem pendidikan yang ada sekarang masih belum mampu untuk bisa menghasilkan lulusan yang bisa menjawab pertanyaan diatas. Apalagi untuk menghasilkan lulusan yang mempunyai kualitas dan mental yang kuat, serta menghasilkan manusia-manusia yang bijak dan bisa bermanfaat buat sesama. Maka dalam kontek ini tidaklah mengherankan kalau Topatimasang (1998) mengatakan bahwa pendidikan tidak ubahnya seperti candu yang memabukan, membuat banyak orang terlena dan terbius sehingga tidak bisa mengenal realitas yang ada disekitarnya. Tentunya ini bertolak belakang dengan apa yang inginkan oleh salah satu tokoh pendidikan dunia yaitu Paulo Freire yang berpendapat bahwa tujuan akhir dari upaya proses pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi) yang berarti pemerdekaan atau pembebasan manusia dari situasi batas yang menindas dari kehendak kita.
Dalam prakteknya pendidikan yang kita dapat selama ini belum mengakui sepenuhnya bahwa manusia itu sosok yang unik, artinya sosok yang satu akan berbeda dengan sosok yang lain. Buktinya untuk bisa mengukur kecerdasan seseorang masih saja menggunakan kecerdasan tunggal yaitu kecerdasan inteletual, dengan melihat dari ketrampilan menghitung, merinci, dan menganalisis. Tidak heran kalau nilai raport dan IPK (Indek Prestasi Kumulatif) menjadi ukuran kebanggaan yang mutlak bagi anak didik dan orang tua sehingga tidak jarang banyak yang menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan nilai yang bagus. Hal inilah yang menyebabkan Adi W. Gunawan mengatakan dengan bahasa provokatif disalah satu artikelnya bahwa sekolah hanya dirancang untuk menghasilkan orang-orang gagal.
Dalam kehidupan ini, ternyata secara tidak sadar kita sering merasa minder dengan kelemahan yang dimiliki. Dan celakanya proses itu muncul dari interaksi dengan lingkungan terdekat kita. Lingkungan dalam keluarga, pertemanan dan sekolah sering menjadi titik awal rasa minder dan lemah itu muncul. Sebagai contoh kecil, ketika kita dulu sekolah pernah mengalami kesulitan dengan salah satu pelajaran, semisal bermasalah dengan pelajaran matematika. Ketidakmampuan kita dalam menyelesaikan soal-soal matematika membuat kita berpikir bahwa ”Akulah anak paling bodoh di kelas ini!” atau ”Akulah siswa yang pantas gagal!”. Bahkan tidak jarang ucapan yang bernada pengecilan terhadap kemampuan anak itu berasal dari orang tua dan guru.
Kondisi di atas bila dipelihara terus akan sangat berbahaya, ini akan menyebabkan seseorang terpenjara mentalnya seumur hidup. Karena ketika persepsi ketidakmampuan kita terus dipelihara, bahkan didukung oleh lingkungan terdekat kita, maka lama kelamaan ini akan menjadi belief system yang akan mengakar kuat, sehingga pada akhirnya akan menempel dan mengendap pada alam bawah sadar kita. Keadaan ini akan membelenggu dan membenamkan setiap potensi besar kita untuk diaktualisasikan. Jelas kalau sudah pada tahap ini tidak mudah untuk “disembuhkan”. Memerlukan upaya yang cukup keras dan lumayan rumit untuk bisa mengembalikan pada kondisi semula. Ibarat sebuah komputer yang sudah terkena virus ganas, maka harus cepat-cepat diinstal ulang, dengan menghilangkan program-program lama diganti dengan yang baru.
Berbicara masalah cerdas atau tidak cerdasnya seseorang, jawabannya mungkin ada pada hasil penelitian Howard Gardner, dia menemukan bahwa dalam diri seseorang terdapat kecerdasan majemuk, artinya terdapat beberapa kecerdasan yang dimiliki oleh seseorang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Beberapa jenis kecerdasan tersebut adalah linguistic, logical-mathematical, bodily-kinesthetic, spatial-visual, musical, intrapersonal, dan interpersonal. Penemuan tersebut disempurnakan oleh Daniel Goleman dengan hasil penelitian yang cukup menggemparkan dan merubah tatanan nilai yang dianut serta dipercaya sebelumnya, dia mengatakan bahwa kecerdasan intelektual hanya berpengaruh 20% terhadap kesuksesan dalam hidup. Selebihnya itu ditentukan oleh kecerdasan lain yaitu kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional itu sendiri merupakan kemampuan untuk memahami diri sendiri sehingga bisa memahami orang lain dan bisa membina hubungan baik dengan orang lain. Kecerdasan inilah yang sangat dibutuhkan seseorang dalam menghadapi kesulitan dalam hidup.
Hanya saja sangat disayangkan, karena banyak orang yang tidak mengetahui dan menyadari hal ini. Kelemahan yang kita miliki telah membutakan mata hati kita untuk mengali potensi dan kekuatan yang telah diberikan Tuhan pada kita. Kita sering fokus untuk membanding-bandingkan kelemahan kita dengan kelebihan yang dimiliki orang lain. Mengutip ucapan Mario Teguh bahwa ketika kita berfokus pada satu hal, maka kita akan tumbuh pada hal tersebut. Jadi ketika hanya berfokus pada kelemahan yang dimiliki hasilnya kita akan semakin menyesali diri dan merasa inferior. Sehingga ketika kesulitan datang, kita sudah buru-buru mengatakan bahwa kita tidak mampu, ini terlalu berat buat kita, ini tidak mungkin untuk diselesaikan. Ketika perasaan ini muncul, maka sebenarnya kita telah mati dalam kehidupan ini.
Kembali pada ucapan indah diatas, ternyata banyak diantara kita belum benar-benar hidup dalam kehidupan, ini bisa dilihat dengan belum maksimalnya atau bahkan masih terkuburnya potensi besar dalam diri kita. Jelas ini tugas kita untuk bisa membangunkan setiap kemampuan terpendam yang masih tertidur, dengan harapan kita akan semakin merasa percaya diri dan bersyukur pada Tuhan karena telah diberi kemampuan sehebat ini. Sehingga tugas kita tinggal satu lagi, yaitu memberi manfaat dari kehadiran kita dengan membantu dan menolong orang lain untuk bisa menghidupkan kehidupannya. Karena ketika kita berhasil membantu orang dalam menemukan dan mengembangkan potensinya, maka kehadiran kita bisa memberi manfaat buat orang lain. Bukankah orang hebat dan terbaik itu, adalah orang yang paling bermanfaat. SALAM SUKSES !!!
BalasHapusFORUM KOMUNITAS GOOGLE INTERNATIONAL
PRODINAR AGEN DINAR IRAQ
Dewi Persik
Dian Sastro Wardoyo
Emma Santos
Julia Perez
Julie Estelle
kumpulan photo
Luna Maya
Manohara Odelia Pinot
Marsanda
Masayu Anastasia
Mayang Sari
Merlyanda Puspa Indah
Mieke Amalia
Olivia
Prita Laura
Rahma Azhari
Rani Juliani
Renita Sukardi
Sandra Dewi
Sarah Azhari
Sintia cewek sexy kampus binus
Tania
Uli Auliani
Vonny Cornellya
Wulan Guritno